Showing posts with label artikel bahasa jawa. Show all posts
Showing posts with label artikel bahasa jawa. Show all posts

Salah Kaprah dalam Krama Desa

Bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat bukanlah sesuatu yang mati tetapi akan terus hidup dan berkembang sejalan dengan dinamika keativitas anggota masyarakat di masing-masing wilayah tempat anggota masyarakat itu hidup. Salah satu contohnya dalam penggunaan Bahasa Jawa ialah penggunaan ragam tingkat tutur (undha usuk) bahasa Jawa yang sering disebut Krama Desa. Yang dimaksudkan Krama Desa adalah bahasa Krama yang dipakai oleh orang yang sering dikatakan sebagai kurang dapat berbahasa dengan benar.

Tingkat tutur ini nampak jelas kelihatan aneh, jelek, dan kampungan jika dibandingkan dengan Basa Kedathon (bahasa istana) yang merupakan bahasa yang digunakan oleh para kerabat istana dan wilayah pemakaiannya pun terbatas hanya dalam istana. Ragam ini dianggap indah dan bagus karena prestise sosial tertentu. Di dalam masyarakat yang memuliakan kerajaan, keraton dianggap tempat terhormat bagi orang terhormat pula, bahasanya pun dianggap terhormat dan karena itu patut menjadi acuan bagaimana berbahasa yang baik dan benar. (Sumarsono: 2002:29).

Apabila lebih lanjut dicermati Krama Desa lebih tepat disebut dengan bahasa krama yang kurang baku atau non standar karena banyak kata krama yang tak baku misalnya kata milai (mulai), tanggi (tetangga), tegil (kebun), waos (gigi), percados (percaya), riyadin (idulfitri) atau menghaluskan nama suatu daerah dan kelompok masyarakat yang seharusnya tak perlu dikramakan menjadi Hyper-krama seperti ‘Semarang’, ‘Karanganyar’, ‘Pasar Gedhe’, ‘Pasar Pon’ dan ‘Cina’ menjadi ‘Semawis’, ‘Kawis Enggal’, ‘Peken Ageng’, ‘Peken Pon‘ dan ‘Cinten’.

Melihat fenomena diatas menurut S.S.T Wisnu Sasangka, seorang pakar bahasa Jawa, penamaan Krama Desa sebenarnya merupakan olok-olok yang dilakukan orang kota terhadap orang desa. Saat itu orang yang tak dapat berbahasa dengan benar menurut orang Nagari (orang kota) diidentikkan dengan orang desa sehingga bahasa krama yang digunakan disebut Krama Desa (22:2004).

Hal yang menarik untuk dibahas disini adalah mengenai tepat atau tidaknya sikap orang kota yang dengan sudut pandang “ke-kota-annya” merasa bahasa mereka lebih “indah” dan “bagus” daripada bahasa orang desa. Kata “”Desa” dalam istilah “Krama Desa” bersinonim dengan kata “Kampung” yang jika diperdalam tingkat ejekannya menjadi kata “Kampungan”. Kata “Kampung” dan “Kampungan” berkonotasi tidak mengenal tata krama per-kota-an dan tak tahu sopan santun. Kata Samsudin Berlian seorang pakar linguistik, bahasa adalah kekuasaan. Orang kota yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan seolah-olah punya hak istimewa untuk mengembangkan makna kata dan menyusun kamus. Padahal orang desa juga punya hak yang sama (190:2006).

Jika direnungkan lebih dalam setiap kelompok masyarakat entah di kota maupun di desa memiliki daya kreativitas masing-masing dalam mengembangkan bahasa. Kreativitas itu bila secara manasuka (arbitrer) disepakati oleh kelompok masyarakat tertentu akan memperkaya khazanah ragam bahasa Jawa yang ada. Jadi meskipun ungkapan leksikon Krama desa itu seolah-olah terdengar aneh ,kampungan dan salah kaprah rasanya tak ada yang perlu diluruskan dengan ungkapan tersebut. Seperti halnya mendengar ungkapan dialek Banyumasan “Wetenge kencot” (perutnya lapar) atau “Ramane teka“(ayahnya datang). Rasanya tidak ada yang salah. Semua itu adalah wujud kreativitas bahasa yang perlu dihargai dan dihormati eksistensinya.
Dimuat di sosbud.kompasiana.com

KEUNIKAN RAGAM BAHASA YANG TIDAK BAKU

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarwini S.Pd dalam SOLOPOS 19/3/2009 berjudul “Penyingkatan Bahasa di Pasar” bahwa bahasa merupakan alat yang sangat penting bagi manusia untuk mengadakan interaksi dan bahasa bersifat arbirtrary atau manasuka. Bukan hanya demikian saja, tetapi bahasa dimanapun ia berada selalu berkembang dinamis mengikuti laju perkembangan zaman .Hal ini disebabkan oleh adanya daya kreatif manusia seperti yang diungkapkan Noam Chomsky, pakar Linguistik Amerika, bahwa tiap manusia memiliki kemampuan bawaansejak lahir (innate competence) untuk secara kreatif mengorganisir, mengkoherensikan, menyesuaikan dan merangkai kata dan frasa agar menjadi ujaran yang dapat di mengerti. Kemampuan ini adalah kemampuan kognitif yang jauh melampai kemampuan linguistik struktural-tradisional ala Leonard Bloomfield yang hanya melihat bahasa dari bentuk (form) dan isi bahasa (contents) dan mengabaikan atau tidak memahami aspek konteks sosio-kultural yang melingkupi sebuah ujaran bahasa. Contoh ketidakmampuan lingustik tradisional dalam menjelaskan fakta kebahasaan tertentu ialah contoh cara linguistik tradisional menjelaskan ekspresi “Ngebut–Benjut” yang sering kita temui di gang-gang sempit di kampung-kampung daerah perkotaan di Solo. Kajian linguistik struktural hanya memahami tuturan “Ngebut –Benjut” dengan penjelasan atas kata ‘Ngebut” sebagai Verba yang artinya “lari kencangnya kendaraan” sedangkan kata “Benjut” sebagai adjektiva yang artinya “wajah atau badan yang memar”. Lalu apa hubungan antara kendaraan yang lari kencang dengan wajah memar? Hal ini hanya bisa dipahami secara linguistis saja tetapi dengan bantuan studi Pragmatik bahwa ada konteks pertuturan yang melingkari tuturan itu. Tanpa konteks ini maka fakta kebahasan ini tidak bisa dipahami. Menurut kajian Pragmatik tuturan “Ngebut –Benjut” bisa dianalisis sebagai berikut: penutur adalah warga kampung, mitra tutur adalah semua orang yang lewat jalan kampung dengan kendaraan. Maksud atau konteks tuturan ialah warga kampung memberitahu orang yang lewat dengan kendaraan agar jangan suka ngebut karena banyak kejadian anak kecil tertabrak kendaraan yang ugal-ugalan. Jika sudah membaca tuturan “Ngebut-Benjut” masih saja memaksakan keinginan maka jika terjadi lagi kecelakaan maka yang terjadi akan jadi “benjut” wajah dan badan memar karena massa akan bertindak di luar hukum untuk menghakimi si pelanggar aturan masyarakat. Lalu kenapa peringatan ini diwujudkan dalam bentuk tulisan? Secara Sosiolinguistik fakta kebahasaan ini juga bisa dijelaskan dengan adanya collective mind (tata nilai, norma dan sistem sosial yang dimiliki bersama) masyarakat Jawa yang meskipun anti konflik tetapi lebih suka menyampaikan sesuatu secara tidak langsung atau tidak terus terang. Hal ini karena halusnya perasaan orang Jawa yang cenderung tidak mau mengingatkan dan menyalahkan orang yang dianggap bersalah di depan orang banyak. Tetapi kalau sudah kebangetan yang tetap akan mendapatkan hukuman sosial.