WHO IS ZATOICHI?

Zatoichi is the famous, fictional, blind masseur and roving gambler who, when innocent lives are threatened, becomes the ruthless swordsman who can cut down a dozen men -- yakuza and samurai alike -- before they know what hit them.


Zatoichi, The Blind Swordsman
He's as famous a film character in Japan as the Indiana Jones character is in the States. He wandered the Japanese countryside in the early 1800s during the waning years of the Tokugawa Shogunate, barely scraping a living by giving massages and gambling. Although saddled with the physical handicap of blindness and the social handicap of living at the bottom of a rigid feudal class structure, Zatoichi manages to gain the upper hand with nearly everyone he meets, including the samurai or warrior class. He achieves this by using his good-natured wit, perceptive understanding of human nature, keen sense of hearing, and the lightning fast draw of his cane sword.

Often humorous and always filled with sword-fighting action, the Zatoichi series of films has succeeded in attracting a worldwide following.

"Any fan of Kurosawa's 'Yojimbo' should snatch these up." --The New York Post.
sumberipun: http://www.momii.com/zatoichi/whois.html#bio

Belajar dari masa kecil Albert Einstein

Para orang tua dan guru yang berbahagia, Siapa yang tidak kenal Albert Einstain...sang jenius fisika penggagas terori relativitas, Mungkin sebagian besar kita semua belum mengetahui seperti apa Einstain kecil, dan seperti apa pada saat ia bersekolah, semoga dengan sedikit mengtahi masa kesilnya kita bisa mendapatkan pelajaran daripadanya.

Einstein seperti juga anak-anak lainnya adalah anak yang pada masa kecilnya biasa-biasa saja bahkan cerderung sebagai anak yang bermasalah dengan sekolah. Einstein adalah anak yang suka membangkang waktu bersekolah dia sering tidak mau mengikuti perintah gurunya malainkan hanya mau mengerjakan apa yang ia sukai yakni yang berhubungan dengan musik, membaca buku-buku sains, dan berlayar.

Einstain kecil tidak mau belajar apa bila ia tidak suka pelajarannya oleh karena itu ia sering bolos pada saat pelajaran bahasa, sastra dan menggambar. Ia membolos untuk melakukan aktivitas yang disukainya tadi. Sehingga pada akhirnya Einstein tidak berhasil lulus SMP, melainkan hanya mendapat keterangan pernah bersekolah SMP dari sekolahnya.

Berbekal surat keterangan tersebut ia nekad berusaha melamar di SMA, sebagian besar sekolah SMA yang didatanginya menolak, namun Einstein dan orang tuanya tidak pernah patah semangat untuk terus mencoba hingga akhirnya ada sekolah SMA yang menerimanya.

Setelah SMA kelakuannya masih sama saja tidak pernah berubah, ia hanya suka pelajaran Matematika dan Fisika saja, jadi Einstain masih sering membolos di pelajaran-pelajaran yang tidak dia sukai, sampai akhirnya ia kembali dinyatakan sebagai anak yang tidak tamat SMA. dan untuk kedua kalinya ia di nyatakan gagal lagi disekolah.

Namun hebatnya orang tua Einstein; tetap mendukung anaknya untuk terus berusaha melanjutkan sekolahnya; bahkan ia ikut membantu dengan berbagai hal agar anaknya bisa terus bersekolah.

Meskipun Einstein tahu ia tidak belum tamat SMA dan tidak punya pernah punya ijazah; ia tetap berani melamar ke perguruan tinggi; Nekad benar ya.... tapi kalau bukan nekad dan keras kepala bukan Einstein namanya.

Tahun 1895 ia melamar di Politeknik Federal, di Zurich Swiss tapi sayang ia gagal di ujian masuk dan menurut sekolah tsb, usianya pun masih terlalu muda. Lalu dia diminta menamatkan SMAnya terlebih dahulu, baru setelah itu ia melamar lagi dan akhirnya di terima sebagai mahasiswa di Politeknik Federal, Swiss.

Tahukah Einstain pada waktu ia ditanya Izajahnya, ia dengan tegas mengatakan bahwa saya tidak pernah punya Izajah tapi kemampuan saya boleh di uji, ya terutama di bidang Matematika dan Fisika. Saat itu kedua pelajaran itu memang sangat di perhitungkan

Kemudian setelah lulus Einstein kembali ke negara asalnya Jerman, dan setelah kembali ke sana ia banyak mengkritik sistem pendidikan di Jerman yang menurutnya banyak menghambat potensi unggul yang dimiliki oleh seorang anak. Ia juga banyak berseberangan dengan Otoritas Akademik di Jerman. Sehingga pada akhirnya dia memilih untuk tidak mau menjadi warga negara Jerman. Peristiwa ini terjadi pada saat Einstain berusia 20tahun.

Setelah itu Enstain mencari negara netral yang memberikan kebebasan warga negaranya untuk berekspresi, akhirnya pilihannya jatuh pada Negara Swiss. Akan tetapi karena pada perang dunia kedua dia merasa terdesak oleh Nazi di Swiss, dia juga mengajukan kewarganegaraan AS. Hingga akhir hayatnya dia memiliki 2 kewarganegaraan yakni Swiss dan AS.

Kalo kita perhatikan ciri-ciri Eistein ini mirip sekali dengan anak-anak yang cenderung dominan otak kanannya. Pertama Dia tahu apa yang dia mau dan dia juga tahu apa yang dia tidak mau. Yang kedua dia hanya mau mengerjakan apa yang dia mau, dan jika dipaksa dia cenderung akan melawan atau menghindar. Dan yang ketiga dia sangat fokus untuk bisa mencapai apa yang dia mau hingga akhirnya ia menjadi Ilmuwan besar dunia di abad 20.

Apa kira-kira Hikmah dari kisah ini.....mungkin beberap diantarnya adalah;

Yang pertama; Penting bagi kita semua orang tua dan guru untuk belajar memahami potensi unggul yang dimiliki oleh masing-masing anak. Yang kedua adalah; Kita tidak bisa lagi memaksaakan anak untuk bisa disemua bidang matapelajaran, dan melupakan kemampuan unggulnya. Dan yang ketiga adalah; Anak yang gagal di ujian bukan berarti dia gagal di kehidupan. karena bisa jadi justru soal-soal ujiannyalah yang keliru untuk menilai potensi unggul anak-anak kita.

Silahkan anda temukan sendiri apa bila masih ada hikmah lain dibalik kisah ini.
sumber: ayahkita.blogspot.com

Pelajaran penting dari buku Quantum Ikhlas

Keikhlasan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari hari. Tanpa keikhlasan, sebuah pekerjaan tidak akan terasa besar walaupun hasilnya besar. Tanpa keihklasan, semua aktifitas akan terasa menjemukan, membosankan, dan bahkan membuahkan keterpaksaan. Seseorang yang ikhlas akan nampak dari bagaimana dia menjalani kehidupan ini. Hati yang riang, semangat yang berkobar, senyum yang ada, mungkin salah satu indikator menandakan keihklasan seseorang.

Memang susah untuk memupuk keikhlasan. bagaimana, kapan, dimana, keiklhlasan itu bisa terjadi. Berikut ada beberapa cara agar keikhlasan tetap ada dalam diri seseorang:

Pertama yaitu niat yang benar.

niat merupakan awal dari keikhlasan. karena niatlah seseorang bisa mencapai apa yang diinginkanya. Niat menentukan apa yang akan dia raih. Seperti kata pepatah, apa yang kau dapat seperti apa yang kau pikirkan. Dengan merangkai niat yang baik, maka hasil yang didapat akan baik juga. Dengan kata lain niat berbanding lurus dengan hasil

Kedua, doa

Dalam sebuah buku "quantum ikhlas" ada 3 hal yang harus kita lakukan ketika berdoa yaitu:

a. Direction yaitu meminta dengan niat yang jelas.

Ungkapkan saja apa yang kita inginkan karena Allah maha pemurah terhadap hamba hambanya yang senantiasa mengharapkan pertolongan. Bukankah Allah SWT maha tahu, kenapa kita harus sejelas mungkin berdoanya? disitulah terletak kesungguhan kita terhadap apa yang kita doakan. Kita akan dinilai terhadap kesungguhan kita. Bukankah suatu kaum tidak akan berubah kecuali mereka bersungguh sungguh.

b. Obidience yaitu menyakinkan hati bahwa doa kan terkabul

Allah sesuai dengan persangkaan hambanya.Maka dari itulah kita harus menyakinkan diri bahwa doa kita akan terkabul. Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita menata kesabaran kita terhadap kapan doa itu dikabulkan NYa

c. Acceptance yaitu menerima perasaan terkabulnya doa

Sama dengan diatas bahwa kita harus senantiasa "berperasaan positif'" terhadap doa kita.

Ketiga adalah syukur

Memang kadang kala kita lupa bersyukur atas nikmat yang telah kita terima. Kita senantiasa selalu memiliki perasaan tidak puas tehadap apa yang kita miliki. Kata kuncinya adalah selama kita hidup didunia ini akan ada orang yang akan selalu lebih (ganteng, cantik, kaya, pintar....) dari kita, namun ingatlah bahwa akan ada orang yang selalu lebih (buruk, jelek, miskin, bodoh ....) dari diri kita.

Maka beryukurlah atas apa yang ada sehingga kita akan mampu merasakan keihlasan dalam hidup ini.

Learning is an emotional experience and the basic character of learning is individual

Ada 2 hal yang berhasil kusimpulkan selama ngajar di Fakultas Tarbiyah Bahasa Inggris ini. 

1. Learning is an emotional experience alias belajar itu merupakan pengalaman emosional. jika kita emang seneng dengan subjek yang kita pelajari maka kita kan terdorong sibuk mempelajarinya. tetapi kalo udah ngga suka dengan satu subjek/mata pelajaran/mata kuliah maka kita ga bakalan sungguh-sungguh mempelajarinya. misalnya kalo udah ga suka dengan matematika dan bahasa inggris ya selamanya ga bakalan bisa kalo tidak mencoba reframing our mind!. 

makanya metode mengajar dan fasilitas belajar secanggih apapun ga bakalan jalan kalo siswa atau mahasiswanya ga ada semangat untuk belajar. untuk itulah guru dan dosen punya tanggungjawab besar gimana caranya agar siswa atau mahasiswa ada semangat belajar. aku jadi inget kata albert enstein: "saya tidak pernah mengajar tetapi saya hanya mensuasanakan siswa saya agar mau belajar". 


2. the basic character of learning is individual alias sifat dasar pendidikan bersifat individual bukan massal. hanya mata kuliah tertentu yang bisa dibuat ceramah umum di kelas massal atau kelas besar. untuk pelajaran yang butuh skill seperti speaking atau writing perlu kelas yang lebih kecil .biar lebih fokus perhatian pembelajarannya. 

Another story of my cute daughter

Agak repot kemaren bawa anak saya Dira ke kampus pas umminya ikut darma wanita. Repotnya dia itu paling ga seneng naik bis. bisa dilihat wajahnya yang kelihatan ga suka. selama perjalanan dua jam ada saja tingkahnya. minta dipangku. pengen tidur selonjoran seperti tidur di kasur. 
Mungkin kami perlu beli mobil ya biar bisa dia bisa enjoy on the journey...??
hal ini terjadi mungkin karena dia biasanya kalo ke kota salatiga ini dari rumah dari solo naik motor. biasanya dia minta dipangku dan tidur sepanjang perjalanan. seperti dilelo-lelo atau ditimang-timang jadi cepet ngantuknya.. setelah nyampe di kampus alhamdulillah udah ceria lagi.

Akibat Pergaulan bebas...

Di rumahku ada penghuni yang paling sulit dididik dan diatur. apa-apa semau gue. sudah begitu pergaulannya bebas lagi. maksudnya bebas disini kalo sama lawan jenis ga selektif. kemaren ada kasus hamil sama tetangga. penasaran sama penghuni rumah saya? namanya si Manis. kalo mau lihat foto cantiknya Klik sini, trus ini dia anak hasil pergaulan bebas si Manis : Klik sini : 3d smiley

Kelebihan & Kekurangan Homeschooling


Dipandang dari sisi positif dan negatifnya, Homeschooling memiliki beberapa pertimbangan penting. Dilihat dari sisi positifnya yang pertama homeschooling mengakomodasi potensi kecerdasan anak secara maksimal karena setiap anak memiliki keberagaman dan kekhasan minat, bakat, dan ketrampilan yang berbeda-beda. Potensi ini akan bisa dikembangkan secara maksimal bila keluarga memfasilitasi suasana belajar yang mendukung di rumahnya sehingga anak didik benar-benar merasa at home dalam proses pembelajarannya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pendidikan yang bersifat informal dan sangat dipengaruhi faktor emosional. Dengan metode homeschooling ini anak didik tidak lagi dibatas oleh empat tembok kelas yang sesak dan mereka bisa memilih tema pembelajaran yang diinginkan mereka.

Yang kedua, metode ini mampu menghindari pengaruh lingkungan negati yang mungkin akan di hadapi oleh anak di sekolah umum. Pergaulan bebas, tawuran, rokok dan obat-obat terlarang menjadi momok yang terus menghantui para orangtua, sementara mereka tak dapat mengawasi putra-putrinya sepanjang waktu.

Dilihat dari sisi negatifnya, yang pertama, dikhawatirkan siswa yang mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya tidak muncul. Kekhawatiran ini disanggah oleh Dhanang Sasongko Sekjen Asah Pena (Asosiasi Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang mengatakan bahwa adanya sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyakat. Untuk mengatasi problem ini sering diadakan kegitan di luar seperti ke pasar dan panti-panti. Metode Sekolah-Rumah bukan berarti belajarnya di rumah terus tetapi bisa juga di luar rumah yang penting dalam pembelajan anak didik merasa at home atau krasan dan senang dengan tema pembelajaran yang diikutinya. Sehingga pembelajaran bisa berjalan alami dan mandiri.

Yang kedua, Persoalan legalitas. Segudang pertanyaan muncul tentang bagaimana sikap dan pengakuan pemerintah tentang sekolah-rumah ini? Secara prinsip tidak ada masalah. Karena, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan: ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.” Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa: ”Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah perserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jadi secara hukum kegitan persekolahan di rumah di lindungi oleh undang-undang.

Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas Ella Yulaelawati Rumindasari menegaskan, UU SisDikNas mengakui sekolah-rumah sebagai bagian dari akses pendidikan. Depdiknas mendefinisikan sekolah-rumah sebagai proses layanan pendidikan yang secara sadar,teratur, dan terarah dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat lain dimana proses belajar dapat berlangsung kondusif. Meskipun model persekolahan di rumah ini dijalankan secara informal orang tua yang menyelenggarakan homeschooling ini diwajibkan melaporkan kepada dinas pendidikan kabupaten atau kota setempat. Anak didik yang mengikuti homeschooling ini juga dapat mengikuti ujian kesetaraan paket A (setara dengan SD), paket B(setara dengan SMP) dan paket C (setara dengan SMU).

Maraknya model pendidikan alternatif diantaranya homeschooling ini perlu ditimbang sebagai partisipasi masyarakat dalam perluasan akses pendidikan dan perbaikan metode pembelajaran formal-konvensional yang cenderung bersifat kaku dan membosankan. Rasanya tidak perlu dipertentangkan mana yang lebih baik pendidikan formal atau informal.

Sementara ini ini sayangnya pemerintah hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Perlu adanya dukungan yang lebih luas dan mendalam agar tujuan pendidikan yang mulia dan ideal yaitu membentuk anak-anak didik menjadi insan yang bertaqwa, mempunyai akhlak yang mulia segera bisa diwujudkan di negeri kita yang tercinta ini.

Do you have a best friend?

kucinglucu
Nice Friendship Quote : "A true friend is someone who thinks that you are a good egg even though he knows that you are slightly cracked." -- Bernard Meltzer.

A friend is one who knows us, but loves us anyway. -- Fr. Jerome Cummings

Remember, the greatest gift is not found in a store nor under a tree, but in the hearts of true friends. -- Cindy Lew

Who finds a faithful friend, finds a treasure. -- Jewish Saying

"Your friend is the man who knows all about you, and still likes you."
-- Elbert Hubbard

"Who finds a faithful friend, finds a treasure."
-- Jewish saying

What is a friend? A single soul dwelling in two bodies. -- Aristotle

Don't walk in front of me, I may not follow.
Don't walk behind me, I may not lead.
Just walk beside me and be my friend.-- Albert Camus

"The only way to have a friend is to be one."
-- Ralph Waldo Emerson

The best way to destroy an enemy is to make him a friend.-- Abraham Lincoln


Hold a true friend with both your hands. -- Nigerian Proverb

"A faithful friend is the medicine of life."
-- Apocrypha

Some people come into our lives and quickly go. Some stay for awhile and leave footprints on our hearts. And we are never, ever the same.-- Anonymous



Friends are like melons; shall I tell you why? To find one good you must one hundred try. -- Claude Mermet

"Friendship multiplies the good of life and divides the evil."
-- Baltasar Gracian (1647)

"Friendship needs no words..."
-- Dag Hammarskjold.

"Friends are the sunshine of life."
-- John Hay (1871)

"The best mirror is an old friend."
--George Herbert

Who is leonard Bloomfield?

Leonard Bloomfield (April 1, 1887 – April 18, 1949) was an American linguist who led the development of structural linguistics in the United States during the 1930s and the 1940s. His influential textbook Language presented a comprehensive description of American structural linguistics.[1] He made significant contributions to Indo-European historical linguistics, the description of Austronesian languages, and description of languages of the Algonquian family.

Bloomfield's approach to linguistics was characterized by its emphasis on the scientific basis of linguistics, adherence to behaviorism especially in his later work, and emphasis on formal procedures for the analysis of language data. The influence of Bloomfieldian structural linguistics declined in the late 1950s and 1960s as the theory of Generative Grammar developed by Noam Chomsky came to predominate.
Indo-European linguistics

Bloomfield's earliest work was in historical Germanic studies, beginning with his dissertation, and continuing with a number of papers on Indo-European and Germanic phonology and morphology.[20][21] His post-doctoral studies in Germany further strengthened his expertise in the Neogrammarian tradition, which still dominated Indo-European historical studies.[22] Bloomfield throughout his career, but particularly during his early career, emphasized the Neogrammarian principle of regular sound change as a foundational concept in historical linguistics.[23][24]

Although Bloomfield's original work in Indo-European beyond his dissertation was limited to an article on palatal consonants in Sanskrit,[25] and one article on the Sanskrit grammatical tradition associated with Pāṇini,[26] in addition to a number of book reviews, he made extensive use of Indo-European materials to explain historical and comparative principles in both of his textbooks, An introduction to language (1914), and his seminal Language (1933).[27] In his textbooks he selected Indo-European examples that supported the key Neogrammarian hypothesis of the regularity of sound change, and emphasized a sequence of steps essential to success in comparative work: (a) appropriate data in the form of texts which must be studied intensively and analysed; (b) application of the comparative method; (c) reconstruction of proto-forms.[28] He further emphasized the importance of dialect studies where appropriate, and noted the significance of sociological factors such as prestige, and the impact of meaning.[29] In addition to regular change, Bloomfield also allowed for borrowing and analogy as forms of linguistic change.[30]

It is argued that Bloomfield's Indo-European work had two broad implications:(a) "He stated clearly the theoretical bases for Indo-European linguistics..."; (b) "...he established the study of Indo-European languages firmly within general linguistics...."
more articles: http://en.wikipedia.org/wiki/Leonard_Bloomfield

Audio-Lingual Method

The Audio-Lingual Method, or the Army Method or also the New Key[1], is a style of teaching used in teaching foreign languages. It is based on behaviorist theory, which professes that certain traits of living things, and in this case humans, could be trained through a system of reinforcement—correct use of a trait would receive positive feedback while incorrect use of that trait would receive negative feedback.

This approach to language learning was similar to another, earlier method called the Direct method. Like the Direct Method, the Audio-Lingual Method advised that students be taught a language directly, without using the students' native language to explain new words or grammar in the target language. However, unlike the Direct Method, the Audiolingual Method didn’t focus on teaching vocabulary. Rather, the teacher drilled students in the use of grammar.

Applied to language instruction, and often within the context of the language lab, this means that the instructor would present the correct model of a sentence and the students would have to repeat it. The teacher would then continue by presenting new words for the students to sample in the same structure. In audio-lingualism, there is no explicit grammar instruction—everything is simply memorized in form. The idea is for the students to practice the particular construct until they can use it spontaneously. In this manner, the lessons are built on static drills in which the students have little or no control on their own output; the teacher is expecting a particular response and not providing that will result in a student receiving negative feedback. This type of activity, for the foundation of language learning, is in direct opposition with communicative language teaching.

Charles Fries, the director of the English Language Institute at the University of Michigan, the first of its kind in the United States, believed that learning structure, or grammar was the starting point for the student. In other words, it was the students’ job to orally recite the basic sentence patterns and grammatical structures. The students were only given “enough vocabulary to make such drills possible.” (Richards, J.C. et-al. 1986). Fries later included principles for behavioural psychology, as developed by B.F. Skinner, into this method.

Oral Drills

Drills and pattern practice are typical of the Audiolingual method. (Richards, J.C. et-al. 1986) These include
Repetition : where the student repeats an utterance as soon as he hears it
Inflection : Where one word in a sentence appears in another form when repeated
Replacement : Where one word is replaced by another
Restatement : The student re-phrases an utterance

Examples

Inflection : Teacher : I ate the sandwich. Student : I ate the sandwiches.
Replacement : Teacher : He bought the car for half-price. Student : He bought it for half-price.
Restatement : Teacher : Tell me not to shave so often. Student : Don't shave so often!


The following example illustrates how more than one sort of drill can be incorporated into one practice session :
“Teacher: There's a cup on the table ... repeat
Students: There's a cup on the table
Teacher: Spoon
Students: There's a spoon on the table
Teacher: Book
Students: There's a book on the table
Teacher: On the chair
Students: There's a book on the chair
etc.”
sumberipun niki nggih: http://en.wikipedia.org/wiki/Audio-Lingual_Method

SOSIALISASI TINGKAT TUTUR KRAMA

Pengkajian tentang penggunaan bahasa tidaklah cukup dilihat dari dalam bahasa itu sendiri tetapi harus dikaji juga dari luar ilmu linguistik. Dengan kata lain pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik saja tapi juga ditentukan oleh faktor-faktor sosial (Suwito:1985:3). Faktor-faktor situasional juga berpengaruh, yaitu siapa yang berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dimana. Seperti yang dikemukakan oleh Fishman (1972:15) yaitu who speaks, what language, to whom and when.
Namun demikian pemakaian sebuah bahasa tertentu sebagai contoh adalah penggunaan bahasa Jawa dalam praktik kesehariaannya kadangkala belum sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian bahasa yang benar. Sebagai contohnya ialah pengalaman nyata ketika ibunda saya berjumpa dengan mantan siswanya saat Lebaran beberapa tahun yang lalu. Perlu diketahui bahwa ibunda saya adalah seorang guru senior di sebuah SMP Negeri di Kota Jepara. Tiap Lebaran ada saja para siswa dan alumni yang datang untuk silaturahmi. Salah satu peristiwa menarik adalah datangnya salah seorang mantan siswa yang sekarang sudah dewasa, berkeluarga dan jadi pengusaha kaya. Mungkin saja maunya mantan siswa ini bernoltasgia, bercerita tentang kesuksesan-kesuksesan yang dicapai selama ini dan juga berterimakasih atas jasa gurunya di masa lampau. Namun alangkah tragisnya ketika dia bercerita pada ibunda saya dari awal sampai akhir dengan memakai bahasa Jawa tingkat tutur Ngoko. Misalnya ia berkata,” Piye,Bu kabare? Sehat yo? Piye kabare guru-guru liyane? Podo Sehat kabeh yo?”. Hal ini tentu saja membut ibu saya sama sekali tidak respek dan tidak enak hati. Sampai-sampai ibu saya berkata, ”Kamu ini gimana tho,Le? Karo wongtuwa koq ora iso boso? Jan kebangetan kowe iki…Opa ora diajari wongtuwamu??..”

Kisah nyata di atas merupakan satu gambaran nyata tentang betapa tingkat tutur krama telah mulai luntur pada generasi muda kita. Hal ini tidak hanya terjadi di kota Jepara yang notabene daerah pantai utara yang jauh dari kraton bahkan menurut penelitian Dr.Maryono Dwiraharjo dari Fakultas Sastra UNS di Solo dan sekitarnya penggunaan tingkat tutur krama di kalangan generasi muda telah mulai luntur dan terabaikan. Hal ini termasuk fenomena yang memprihatinkan karena Solo adalah salah satu dari dua episentrum budaya dan bahasa Jawa.
Fenomena semacam ini layak untuk dijadikan bahan kontemplasi: Kenapa bisa terjadi demikian? Siapa yang salah? Bagaimana solusinya?. Saya pribadi berpendapat tidaklah tepat kita berprinsip ala pepatah buruk muka cermin dibelah. Mari koreksi diri ; Jangan mudah menyalahkan orang lain. Perlu ada koreksi kedalam terutama pada peran para orangtua di rumah dan pendidik di sekolah di Solo dan sekitarnya. Yang perlu dicermati adalah seberapa penguasaan tingkat tutur krama ini telah diajarkan dan disosialisasikan kepada anak didiknya di tingkat keluarga dan sekolah.
Meski ada juga yang tidak atau mungkin kurang sependapat—terutama orang-orang yang perpandangan liberal dan egalitarian, saya tetap meyakini bahwa apabila tingkat tutur krama ini diajarkan sejak dini pada anak didik maka unggah-ungguh atau kesopanan yang merupakan bagian dari budi perkerti mulia akan bisa diinternalisir secara mendalam di hati sanubari anak didik kita. Setidaknya generasi muda keturunan orang Jawa mau berpikir dua kali atau tiga kali jika mau matur kepada orang yang lebih dewasa.
Salah satu solusi yang bisa dibuat adalah perlunya membangkitkan kesadaran para orangtua dan pendidik untuk membiasakan kepada anak didiknya dengan menggunakan tingkat tutur krama saat berada di rumah atau sekolah. Cara yang efektif adalah menyelipkan kalimat-kalimat krama kalau perlu Krama Inggil dalam berdialog, saat mengajar atau berbicara kepada anak asuhnya. Salah satu contoh menarik adalah kalimat-kalimat seorang guru kepada siswanya yang diungkapkan oleh Soepomo Poedjasoedarmo dalam bukunya berjudul “Tingkat Tutur Bahasa Jawa” berikut ini.
Guru: “Bocah-bocah, sak iki Ibu Guru kagungan cangkriman. Cangkrimane gampang banget. Sego sekepel dirubung tinggi iku apa? Hayo sapa kang ngerti? Sinten ingkang priksa? Anton, sampun priksa?”

“Anak-anak, sekarang Ibu Guru mempunyai teka-teki. Teka-teki ini mudah sekali. Nasi sekepal dikerumuni kutu busuk itu apa?Ayo siapa tahu? Siapa yang tahu? Anton, tahu?” (1979:54).

Sekilas mungkin terasa aneh sekali jika kita mendengar Ibu guru berkata kepada murid-muridnya “Sinten ingkang priksa” kemudian bertanya kepada si Anton “Anton, sampun priksa”. Kenapa Ibu guru itu harus meninggikan kedudukan muridnya dengan menggunakan kalimat Krama? Bukankah hal ini terbalik; seharusnya siswa yang menggunakan tingkat tutur krama pada gurunya ?. Hal ini jika kita amati dalam kehidupan masyarakat Jawa secara umum bukanlah kejadian yang aneh. Para ibu di rumah dan guru di tingkat taman kanak-kanak dan kelas terendah di Sekolah Dasar sering menyelipkan kalimat-kalimat Krama dalam berbicara keapda anak asuh mereka sebagai salah satu cara yang efektif untuk mendidik anak asuh mereka. Dengan kalimat-kalimat Krama yang secara langsung ditujukan kepada anak asuh atau anak didik diharapkan bahwa si anak akan menjawab dengan tingkat tutur Krama pula. Jika seorang anak tidak pernah dibiasakan berkomunikasi dengan tingkat tutur yang halus dan sopan saya kira sampai kapanpun dia tidak akan bisa menggunakan tingkat tutur krama dengan baik dan benar. Kenapa demikian?. Seorang anak kecil akan menjawab dalam tingkat tutur Ngoko bila orang yang lebih dewasa bertanya kepadanya dalam Ngoko. Oleh karena itu mari kita sosialisasikan tingkat tutur krama ini dimulai dari kita sendiri selaku orangtua atau pendidik membiasakan tingkat tutur krama kepada anak-anak kita. Bagaimana sikap Anda?. Mau?.



BIBLIOGRAFI:
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik; Sajian Tujuan, Pendekatan, dan Problem-problemnya. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional.
Fishman, Joshua. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts. New House-Ramley Publishers.
Poedjosudarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suwito, 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori & Problem. Surakarta. Henary Press.

Nuansa rasa leksikon bahasa Jawa

Setiap bahasa tentunya memiliki keunikan dan kekhasan yang dibanggakan oleh setiap bangsa yang menjadi pemilik dan penggunanya. Masing-masing bahasa memiliki kekhasan yang terkadang sulit ditemukan pola atau sistem yang sama persis dalam bahasa-bahasa lain. Misalnya orang Inggris bangga dengan bahasanya yang memiliki 16 pola tenses atau kala yang cukup rumit. Sampai-sampai ada bentuk kala dengan pola past future perfect continous yang jika diartikan “telah akan sedang berlangsung”. Bagi kita yang sudah sangat terbiasa dengan pola kala Bahasa Indonesia yang relatif sederhana tentunya sangat aneh memahami bahwa ada kombinasi suatu pekerjaan yang “telah terjadi” dan juga “sedang berlangsung” di masa yang akan datang. Hal ini konon merupakan refleksi bahwa mereka sangat menghargai waktu. Mereka tidak kenal rubber time atau jam karet. Contoh yang lain adalah orang Hindustan yang bangga dengan bahasa Urdu. Bahasa ini punya ciri pemerlain yang unik pada rangkaian kalimat-kalimat yang terdengar begitu puitis karena kebanyakan kalimatnya diakhiri dengan kata “hai”. Misalnya kalimat “Apka kia nam hai? (Siapakah nama anda?)”, “Pakistani ham char sati hai (Kami berempat dari Pakistan)”, “Kia bolte hai? (Apa yang dia katakan?)” dan yang populer disini film dan lagu berjudul “Kutch-kutch hota hai” (Aku merasakan sesuatu terjadi padaku ketika engkau mendekat kepadaku). Kata “hai” ini adalah to be atau kata kerja bantu yang selalu diletakkan di akhir kalimat.
Nah, jika orang Inggris dan orang India-Pakistan punya kebanggaan yang khas dengan bahasa mereka bagaimana dengan orang Jawa? Apakah orang Jawa terutama generasi mudanya benar-benar bangga punya bahasa Jawa? Jika saja bahasa Jawa sudah dianggap kuno dan usang tentunya situs mesin pencari terbesar sedunia Google.com tentunya tak mau menyediakan menu Google Boso Jowo sebagai salah satu peranti bahasa pilihan. Lalu jika memang benar demikian kemudian aspek apa dari bahasa Jawa yang bisa dibanggakan?.
Untuk menjawab hal ini akan disampaikan satu fenomena yang sangat menonjol dari bahasa Jawa yang semoga membuat kita sadar sepenuhnya akan kelebihan bahasa Jawa. Fenomena kebahasaan ini rasanya sulit ditemui padanannya jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain yang kita kenal.
Menurut Profesor E.M Uhlenbeck, pakar bahasa Jawa dari Belanda (Aneh bin ajaib ya, pakar bahasa Jawa kok malah orang bule?) bahasa jawa dipenuhi oleh leksikon emotif ekspresif. Contohnya leksikon kemresek, kemrosok, kemrusuk, dan kemrisik yang semuanya menyatakan bunyi berkerisik benda-benda seperti daun-daun, air terjun dan lain sebagainya dengan tingkat kekerasan dan kejelasan yang berbeda. Contoh lain adalah leksikon krik-krik yang mengacu pada suara hewan jangkrik dan leksikon cek-cek mengacu pada suara hewan cecak. Secara semantik contoh-contoh di atas mengacu pada kekhasan masyarakat agraris tradisional yang dekat dengan alam secara morfologis (Uhlenbeck:163).
Leksikon emotif ekspresif disebut juga leksikon periferal atau “pinggiran” atau leksikon yang bersifat non-arbitrer. Kenapa disebut non-arbitrer? Karena ada kesamaan spesifik antara aspek formal dan aspek semantik. Misalnya kata pethingil atau methingil mengacu pada munculnya “benda” kecil seperti tikus atau jangkrik. Kata Prof.D.Edi Subroto, guru saya di pascasarjana UNS, secara fonestemik bunyi “i” ada nuansa benda-benda yang kecil, ringan, lembut dan halus. Apabila ada fonem vokal “i” berubah menjadi “u” kemudian menjadi “o” menandakan entitas itu berangsur-angsur menjadi semakin besar, berat dan kasar. Contohnya adalah gradasi yang terjadi pada kata pethingil menjadi pethungil dan pethongol. Atau methingil menjadi methungul dan akhirnya menjadi methongol. Gradasi semacam ini bisa dijelaskan secara fonetik karena ruang resonansinya kecil atau sempit. Contoh lain adalah gradasi kata-kata itir-itir menjadi utur-utur kemudian menjadi otor-otor.
Contoh-contoh itu jelas menunjukkan bahwa bahasa Jawa sangat kaya akan nuansa rasa. Untuk lebih memahami kekayaan unsur emotif ekspresif dalam leksikon di atas cobalah menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa lain apa pun yang Anda ketahui. Rasanya sangat sulit menemukan padanan terjemahan kata yang sama persis nuansa rasanya.
Contoh-contoh gradasi di atas meski sepintas kelihatan sederhana sudah pernah dipresentasikan di International Conference of Austronesian Linguistics di Pulau Bali di tahun 1987. Contoh-contoh ini ternyata pernah menjadi bahan kajian seminar yang pada saat itu mendapatkan tanggapan meriah para pakar linguistik se Asia-Pasifik.